
ExposeBanten.com | Rubrik – Ketika kebebasan berpendapat tidak lagi bisa dibendung, ada semacam kecenderungan untuk menganggap kritik, saran dan usulan maupun pendapat dibiarkan saja seperti angin lalu. Minggu (29/62025).
Artinya, pembiaran terhadap angin yang lalu itu harus ditingkatkan daya hembusnya menjadi semacam badai yang bisa memporak porandakan keangkuhan istana yang angkuh dan tidak perduli pada dera dan derita rakyat yang berteriak dari tengah alun-alun agar terdengar lebih lantang sampai pendopo penguasa yang zalim menghisap keringat rakyat.
Menurut Jacon Ereste, Kisah ini pernah diceritakan seorang komikus yang tidak pernah dikenal oleh banyak orang, karena selera humor yang dia tulis tak pernah dapat mencukupi biaya hidup keluarga yang semakin miskin. Karya seninya yang dianggap mewakili selera rakyat kecil itu, memang tidak memperoleh tempat di pasar, sebab pembelinya hanya rakyat miskin yang tak pernah memiliki uang berlebih. Jadi tak mungkin dapat diharap membayar karya seni yang murah itu.
“Sementara khayalan untuk memperoleh subsidi dari pemerintah seperti BLT (bantuan langsung tunai) memang tak dapat diharap, karena Bansos pun yang lebih mencolok mata lebih banyak tak sampai kepada alamat yang sudah tercatat. Sebab orang tak banyak paham bahwa catatan data orang miskin itu cuma sekedar untuk membuat laporan biaya pengeluaran yang akan ditilep sebanyak-banyak mungkin,” Ujar Jacon.
Dalam versi komika yang miskin tadi, dia punya cerita juga tantang tragika Bansos yang tak pernah sampai ke alamat rakyat yang sudah tercatat sebagai penerima bantuan tersebut. Begitulah realitas sosial dan politik yang getir di negeri Kanoha ini. Pembiaran sistematik terhadap kritik rakyat yang dianggap sepi seperti angin lalu, tak ada arsipnya yang mau dibaca dari meja birokrasi yang rumit. Ketimpangan dalam distribusi bantuan sosial saja sudah jauh lebih rumit untuk dibuatkan laporan yang super fiktif.
“Artinya, boro-boro mau mengurus nasib seniman rakyat yang dianggap tidak memberi distribusi apapun, kecuali cuma dianggap hanya merecoki saja keasyikan orang-orang yang sedang berusaha keras untuk menumpuk kekayaan pribadi agar hidup bisa lebih happy. Jadi tak lagi ruang bagi selera humor politik atau politik humor yang bisa dikembangkan sebagai salah satu profesi pekerjaan yang bisa menjadi bagian dari mata air penghidupan untuk sekedar hidup, meski dibawah standar UMR yang selalu memicu perseteruan antara buruh dengan majikan pada setiap awal tahun anggaran tanpa menghitung tingkat inflasi serta kebaikan harga bahan pangan pokok,” tutur Jacon Ereste.
Kekecewaan sosial serta ekspresi kemarahan yang harus terkemas bagus pun sulit terwujud, karena harus dinarasikan dengan santun dan etika yang tersusun rapi seperti isi pidato pada setiap kali hendak dibacakan, meski pelaksanaan dari isi pidato itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan.
“Bukankah teks pidato resmi sekalipun tidak pernah dipelajari dengan serius apa bedanya dengan sastra politik atau prosa politik. Lantaran ratapan terhadap matinya vibrasi empati dalam birokrasi kekuasaan tidak pernah ada dalam kurikulum pendidikan pada jenjang apapun. Satir politik yang paling getir sekalipun tak pernah mampu membangkitkan gelak tawa mereka, termasuk para tukang ngoceh di parlemen yang semakin tak jelas mewakili suara siapa dan untuk siapa saja karena absurd dan naif,” Pungkasnya.
(Red)