
ExposeBanten.com / Jakarta – Pernyataan kontroversial anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas, tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas-jelas memicu reaksi keras. Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Dewan KPK, Wisnu Baroto, di Kompleks Parlemen Senayan pada 20 November 2024.
Hasbi berani mengeluarkan klaim yang mengejutkan: “Saya setuju dengan Pak Luhut kalau OTT itu hanya kampungan, sebab OTT itu hanya merugikan uang negara.” Pernyataan ini tidak hanya salah kaprah, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa OTT adalah salah satu instrumen terpenting dalam pemberantasan korupsi yang selama ini menggerogoti bangsa ini.

Apa yang sebenarnya dimaksud Hasbi dengan menyebut OTT sebagai “kampungan”? Pernyataan ini seolah ingin mengecilkan peran KPK dalam menghadapi kejahatan korupsi yang sudah menjadi momok bagi negara ini. Dengan kata-kata yang cenderung merendahkan, Hasbi menilai OTT hanya sebagai pemborosan.
Sebuah pernyataan yang tanpa dasar dan terlepas dari kenyataan bahwa OTT telah berhasil menggugurkan banyak kasus besar yang melibatkan pejabat negara. Tanpa OTT, apakah Hasbi berpikir bahwa para koruptor akan menyerahkan diri dengan sukarela? Ini adalah kritik yang tidak berdasar dan sama sekali tidak relevan dengan kenyataan yang ada.
Lantas, kepada siapa kritik ini ditujukan? Tentu saja kepada KPK, lembaga yang sejak lama menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi di negeri ini.

Namun, bukannya mendukung lembaga yang berjuang demi kepentingan rakyat, Hasbi malah mempertanyakan salah satu metode terpenting yang dimiliki KPK untuk mengungkap korupsi, yaitu OTT.
Bahkan, ia mengatakan bahwa ia pernah bertanya langsung kepada mantan Pimpinan KPK mengenai metode OTT yang disebutnya memakan waktu lama. Ini menunjukkan ketidakpahaman mendalam terhadap bagaimana proses hukum berjalan dan betapa rumitnya investigasi yang dilakukan oleh KPK.
Mengapa Hasbi bisa sampai pada kesimpulan yang begitu keliru? Mengapa ia berpendapat bahwa OTT itu hanya merugikan uang negara? Sebab, menurutnya, OTT membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Namun, pernyataan ini jelas mengabaikan prinsip dasar hukum yang mengutamakan keadilan dan bukti yang sah.
Menggali bukti yang valid untuk memastikan pelaku korupsi dihukum bukanlah hal yang mudah. Jika Hasbi menganggap biaya ini sebagai pemborosan, maka dia jelas tidak memahami urgensi dari sistem hukum yang harus bekerja dengan ketelitian dan kehati-hatian.
Tidak hanya sampai di sana, Hasbi bahkan melontarkan gagasan yang jauh lebih kontroversial: agar KPK menghubungi pejabat negara yang dicurigai akan melakukan korupsi dan memberi peringatan agar mereka menghentikan niat buruk tersebut.
Bagaimana mungkin seorang anggota DPR yang terhormat memberikan usulan yang begitu absurd dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan? Jika usulan ini diikuti, maka yang terjadi bukanlah pemberantasan korupsi, melainkan penyalahgunaan kekuasaan yang bisa berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam konteks yang lebih luas, pertanyaan besar yang muncul adalah: Bagaimana bisa seorang anggota DPR berpandangan demikian terhadap lembaga yang berfungsi untuk menegakkan hukum?
Apakah Hasbi tidak memahami bahwa KPK merupakan lembaga yang memiliki peran strategis dalam menjaga integritas dan transparansi pemerintahan? Alih-alih mengkritik tanpa solusi, Hasbi seharusnya memberikan dukungan konstruktif agar KPK bisa semakin efektif dalam menjalankan tugasnya.
Jika Hasbi begitu peduli dengan pemborosan uang negara, bukankah seharusnya dia lebih fokus pada upaya peningkatan efisiensi dalam lembaga negara, bukan malah meremehkan kinerja KPK?
Bukankah masih banyak cara lain yang lebih rasional untuk memperbaiki sistem pemberantasan korupsi tanpa harus menghentikan cara-cara yang telah terbukti berhasil? Kritik yang dilontarkan Hasbi terasa semakin tidak relevan dan tidak konstruktif, bahkan terkesan hanya untuk mencari sensasi tanpa memperhatikan dampak yang lebih besar.
Apakah Hasbi berpikir bahwa OTT hanya menyasar pejabat negara yang sudah pasti bersalah? Jika itu yang ia maksud, maka ia jelas tidak memahami betapa korupsi di tingkat pejabat negara bisa sangat merugikan negara. Jika OTT dihentikan atau tidak dilakukan, lalu siapa lagi yang harus ditindak?
Apakah Hasbi ingin membuka pintu bagi praktik korupsi semakin merajalela di Indonesia? Pernyataan seperti ini sangat berbahaya bagi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan integritas pemerintahan.
Hasbi bahkan berani menganggap OTT sebagai pemborosan, padahal kenyataannya justru sebaliknya. Setiap tindakan yang dilakukan KPK dalam OTT bukanlah pemborosan, tetapi investasi untuk masa depan yang bebas dari korupsi. Setiap rupiah yang digunakan dalam OTT adalah upaya untuk menyelamatkan triliunan uang negara yang lebih baik digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan mengungkap praktik korupsi, KPK bukan hanya menyelamatkan keuangan negara, tetapi juga menjaga martabat dan integritas bangsa.
Pernyataan Hasbi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Jika kritik semacam ini terus mengalir tanpa dasar yang kuat, maka hanya akan merusak citra lembaga negara dan melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Bukannya mengurangi beban negara, pernyataan seperti ini justru bisa memperburuk citra lembaga legislatif dan merusak harapan masyarakat yang sudah lelah dengan janji-janji yang tidak pernah terealisasi. Jangan biarkan suara seperti ini merusak kemajuan yang telah dicapai dalam memerangi korupsi.
Rilisan berita ini disusun berdasarkan kutipan dari berita yang dilansir media nasional seperti Kompas dan CNN, serta tayangan berita di tv nasional. (Oim/Red).