
ExposeBanten.com | Tangerang – Nawa Said Dimyati atau akrab dipanggil Cak Nawa, menyoroti terkait Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang digadang ikut memuluskan kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah PIK2, Kabupaten Tangerang, Kamis (6/2/2025).
Mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten itu mengatakan bahwa Perda RTRW merupakan prodak dari Gubernur Banten dan DPRD, dan diparipurnakan pada bulan Maret tahun 2023 lalu, setelah melalui mekanisme mulai dari penyampaian oleh Gubernur saat itu Wahidin Halim, lalu pandangan umum fraksi-fraksi dan jawaban Gubernur hingga pembentukan Pansus sampai kemudian Pansus yang bekerja, kemudian disahkan pada masa Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar.
Persoalan pagar laut masih menarik perhatian publik hingga saat ini, bahkan menjadi sorotan semua kalangan masyarakat di Indonesia, terlebih dengan munculnya Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB) di wilayah lautan Kabupaten Tangerang.
Pria yang akrab disapa Cak Nawa itu mengungkapkan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW tersebut merupakan Raperda inisiatif yang diusulkan oleh Eksekutif, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Banten.
“Perda RTRW itu Perda inisiatif eksekutif, atau Perda yang berangkatnya dari eksekutif dengan 6 OPD yang tergabung di situ, PUPR, BAPPEDA, Biro Hukum, DKP, DLHK dan ESDM. Jadi ada 6 Dinas yang terlibat dalam proses penyusunan, proses pembahasan dengan DPRD sampai dengan diparipurnakan” ungkap Cak Nawa kepada Pikiran Rakyat.
Dengan fakta tersebut, dirinya terkesan skeptis ketika muncul isu yang mengarah pada adanya permainan di tubuh DPRD, khususnya Pansus.Dirinya memang bukan termasuk Pansus dalam penyusunan Perda tersebut, namun saat itu ia merupakan salah satu pimpinan DPRD Provinsi Banten, bahkan memimpin paripurna dengan agenda pandangan umum fraksi-fraksi terhadap nota pengantar Gubernur, terkait dengan Raperda tentang RTRW tersebut.
Menurutnya, jelas-jelas user (pengguna) dari Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tersebut adalah eksekutif.
“Jadi bingung ketika semua diarahkan kepada DPRD dalam hal ini Pansus RTRW Provinsi Banten, padahal kalau kita lihat usernya kan dari eksekutif yah. Jadi tanya aja kepada 6 OPD yang terlibat dalam proses itu, dokumennya semuanya juga masih lengkap, jelas yah” paparnya.
Dirinya mengaku tidak begitu yakin, jika mereka yang termasuk dalam Pansus menilik lebih dalam perihal Raperda saat bekerja, apalagi sampai melihat pada lembar lampiran.
Ketua DPC Demokrat Kabupaten Tangerang itu justru menekankan, bahwa ada asistensi dari Kemendagri dengan jangka waktu 6 bulan soal Raperda tersebut yang pastinya tidak diketahui oleh umum prosesnya seperti apa, sebelum akhirnya disetujui Kemendagri dan kemudian diparipurnakan di DPRD Provinsi Banten.
“Jadi sebelum diparipurnakan itu kan minta persetujuan apa ke Kemendagri 6 bulan mas, waktunya kan lama. Saya gak tau 6 bulan di sana ada proses seperti apa, yang lobi siapa, dan lain sebagainya kita gak tau. Nah ini yang banyak tidak diketahui oleh publik yah, terkait dengan persoalan ini” tegas Cak Nawa.
Sementara itu dirinya tidak menampik kemungkinan, jika kemudian Perda RTRW Provinsi Banten tersebut menjadi dasar dari SHGB di wilayah laut Kabupaten Tangerang tepatnya di Desa Kronjo, seperti yang ramai diperbincangkan saat ini.
Namun demikian dirinya mengingatkan, ternyata saat di lapangan diketahui bahwa terdapat SHGB 3 bidang dengan masalah sama yang terletak di Desa Karang Serang, kecamatan Sukadiri, yang diterbitkan tahun 2019. Padahal kata dia, Perda tata ruang saat itu di Provinsi Banten tidak masuk wilayah tersebut.
Sehingga menurutnya, wajar Kemungkinan Perda RTRW provinsi Banten ini juga diperkaya, atau salah satu yang dijadikan dasar untuk wilayah Kabupaten Tangerang adalah Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang RTRW Kabupaten Tangerang.
Apalagi lanjut dia, pihak BPN sudah mengeluarkan statemen bahwa persoalan tidak di situ saja, melainkan juga adanya PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Kemudian ada dokumen kepemilikan atas tanah berupa girik, berupa SPPT dan lain sebagainya. Pagar laut kemudian SHGB yang dibatalkan oleh Kanwil ATR BPN provinsi Banten yang di batas laut, itu kan memang kemudian berkembang kemana-mana.
“Salah satunya adalah seperti yang disampaikan oleh Direktur Penindakan Umum Mabes Polri, itu ada dugaan pemalsuan dokumen, ada juga dugaan penyalahgunaan wewenang dan juga ada TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)” tandasnya. (EBN)