
ExposeBanten.com | Jakarta – Perseteruan antara Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dengan Menteri Keuangan, terkait harga LPG 3 Kg menunjukkan kepanikan pemerintah mengurus kepentingan publik seperti kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang diduga lantaran menjadi tersangkanya Reza Chalid dalam kasus yang merundung PT. Pertamina yang sangat tergantung terhadap para tersangka kasus yang tak kunjung menunju titik terang dalam proses persidangan yang sangat ditunggu oleh masyarakat.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menyebut Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa “salah membaca data” harga asli LPG 3 Kg. Pernyataan yang diungkapkan Bahlil Lahadalia ini disampaikan kepada wartawan di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025) lalu.
Karena Purbaya Yudhi Sadewa menurut Bahlil Lahadalia mungkin belum mendapatkan data yang tepat dari Dirjen atau Tim ESDM.
Sementara, Menteri Keuangan sendiri mengaku akan mempelajari kembali data yang disampaikan oleh timnya. Bahwa harga LPG 3 Kg yang dia paparkan yaitu harga Rp 42.750 per tabung sebagai harga keekonomian yang berasal dari stafnya.
Sehingga, Purbaya cukup kuat menduga, kemungkinan perbedaan penafsiran data antar kementerian bisa menjadi sumber ketidakcocokan.
Masalah yang terjadi dalam masyarakat tingkat keresahan menjadi semakin meningkat. Apalagi dibarengi dengan gunjang-ganjing BBM yang sulit didapat oleh warga masyarakat yang membutuhkannya.
Pemerintah memang tidak pernah transparan dalam menghitung biaya penjualan BBM dan Gas.
Akibatnya, tak heran menjadi sarang korupsi seperti yang ditengarai oleh berbagai pihak serta sejumlah media yang melansir pemberitaan BBM dan Gas dengan membandingkan harganya dengan harga disejumlah negara tetangga.
Harga energi, BBM, gas dan LPG, memang melibatkan banyak komponen biaya produksi seperti yang diungkap oleh sejumlah pengamat. Mulai dari pengolahan, transportasi, pajak, margon distribusi, subsidi dan lain-lain cukup ruet dan menjlimet.
Akibatnya wajar muncul dugaan kuat telah dijadikan ladang korupsi. Karena itu, masyarakat minta pemerintah melakukan audit independen atau laporan publik agar biaya energi tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Klaim bahwa harga BBM, gas dan LPG lebih mahal di Indonesia dibanding harga disejumlah negara tetangga, membuktikan bahwa rakyat Indonesia memang menjadi “sapi perahan” yang justru tidak dipikirkan oleh pemerintah.
Apalagi, semua keperluan itu dibutuhkan oleh rakyat kecil yang ada di pedesaan atau pelosok yang jauh dari pusat pasokannya.
Alasan dari ongkos transportasi yang digunakan sebagai dalih untuk menaikkan harga BBM, gas dan LPG di daerah membuktikan bahwa perlakuan adil bagi rakyat memang masih harus ditebus dengan harga yang mahal.
Tak bisa mengandalkan pada amanat UUD 1945 maupun Pancasila yang menyatakan bahwa keadilan sosial itu belum sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Seperti harga BBM yang garus dibayar mahal oleh warga masyarakat Papua yang belum bisa menikmati pelayanan maksimal dari pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk mengadopsi platform “harga terbuka” open pricing, agar segenap komponen harga BBM, gas dapat diumumkan secara terbuka. Tidak seperti menjual kucing di dalam karung.
Kecuali itu, audit internal dan pelibatan lembaga masyarakat sipil dan media dalam melakukan verifikasi harga dapat dikoreksi bersama.
Demikian juga dengan program subsidi yang ditargetkan, agar negara tidak menanggung beban, sementara penikmatnya adalah para mafia yang bebas gentayangan karena bekerjasama dengan aparat di lapangan, juga menjadi beban rakyat yang dimanipulasi dengan anggapan telah mendapat subsidi, sementara yang menikmatinya adakah para mafia, seperti Bantuan Sosial (Bansos) yang tak pernah sampai kepada rakyat yang berhak menerimanya.
(Red)